Loading...
Selasa, 24 Desember 2013

Filsafat Umum (Post-Strukturalisme)

FILSAFAT BARAT III
(POST-STRUKTURALISME)

A.    PENDAHULUAN
Jika dilihat dari periodesasi perkembangan sejarah filsafat Ada tiga bab dalam filsafat yang umum, yaitu filsafat pada masa Yunani kuno yang didominasi oleh rasionalisme, abad tengah didominasi agama Kristen dan filsafat abad modern didominasi oleh rasionalisme. Ketika itu sudah ada muncul jenis filsafat baru yaitu disebut sebagai filsafat kontemporer (contemporary philosophy). Periode selanjutnya adalah filsafat post-strukturalisme (poststructuralism philosophy).
Pada makalah ini akan dibahas mengenai filsafat post-strukturalisme. Dimulai dari pengertian dan latar, selanjutnya tokoh-tokoh pada masa filsafat ini beserta hasil karya dan pemikirannya.

B.     FILSAFAT POST-STRUKTURALISME
1.      Pengertian dan Latar Belakang
Setiap tesis dipastikan akan ada anti-tesis sebagai lawan atau pengembangannya, begitu pula dengan sebuah pemikiran yang muncul pada masanya maka akan ada pemikiran baru baik itu yang berlawanan dengan pemikiran sebelumnya ataupun pengembangan dari pemikiran tersebut. Post-strukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidak puasan atau ketidak setujuan pada pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure (Ferdinand de Saussure, 1857-1913) bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama. Menurut David dapat dikatakan bahwa post-strukturalisme hadir sebagai dekonstruksi dari Strukturalisme[1].
Post-strukturalisme menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang dominan dalam hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan-hubungan dan ketergantungan istilah dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu-satunya cara untuk benar memahami makna adalah mendekonstruksi asumsi dan sistem pengetahuan yang menghasilkan ilusi makna tunggal. Tindakan dekonstruksi menerangi bagaimana laki-laki dapat menjadi perempuan dan bagaimana rasional dapat menjadi emosional.
Post-strukturalisme dalam kesusasteraaan Strukturalisme dibangun atas prinsip saussure, bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tehapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post-strukturalis berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Post-strukturalisme berpendapat bahwa konsep “diri” sebagai entitas yang terpisah, tunggal, dan koheren membangun fiksi. Sebaliknya, individu terdiri dari ketegangan antara klaim-klaim pengetahuan yang saling bertentangan (misal jenis kelamin, ras, kelas, profesi, dan lain-lain).
Beberapa tokoh yang mendukung atau condong pemikirannya kepada Post-Strukturalisme diantaranya adalah seorang flusuf Prancis Jacques Derrida, pemikiran psikoanalisis Jacques Lacan, ahli teori kebudayaan Michael Foucault dan Jean-Francois Lyotard.
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Ciri dari Derrida melampaui pemikiran Saussure adalah pemikiran Derrida yang percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking). Dan Derrida memandang bahwa Saussure tidak bisa melepaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak Saussure lebih mengunggulkan bahasa di atas tulisan.
Selain itu Derrida juga menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Pemikiran post-strukturalis juga berkembang di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstruksionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
Jadi secara garis besarnya pemikiran post-strukturalisme adalah pemikiran yang tidak hanya terpaku kepada tulisan ataupun bahasa yang dituliskan akan tetapi selain tulisan, post-strukturalis juga tidak meninggalkan maksud dari sang penulis yang membuat sebuah tulisan. Lebih jelasnya selanjutnya penulis akan mencoba menguraikan beberapa tokoh post-strukturalisme serta pemikiran-pemikirannya.

2.      Tokoh-Tokoh pada Post-Strukturalisme
Meskipun banyaknya para pemikir post-strukturalisme, akan tetapi dalam makalah ini penulis hanya akan menyampaikan dua tokoh dari post-strukturalisme, yaitu Jacques Derrida dan Jacques Lacan.
2.1     JACQUES DERRIDA
2.1.1          Riwayat Hidup dan Karyanya
Jacques Derrida lahir di al-Jazair pada tanggal 15 Juli 1930, dan ia adalah seorang Filusuf Prancis keturunan Yahudi. Pada tahun 1949 Ia pindah ke Prancis dan menetap di Prancis hingga akhir hayatnya. Beliau kuliah dan belajar di Prancis hingga akhirnya dia menjadi maitre-assistant, dosen tetap di bidang Filsafat. Selain dosen tetap di bidang filsafat, beliau juga dalam beberapa waktu sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika Serikat. Dan pada masa mudanya Derrida pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis.
Pada tahun 1962, Derrida menerbitkan terjemahan karangan Husserl Asal-Usul Ilmu Ukur Introduction au probleme du signe dans la phenomenology de Husserl (suara dan fenomena. Pengantar pada masalah tanda dalam Fenomenologi Husserl) memberi komentar panjang lebar atas uraian Husserl tentang tanda dalam buku Penelitian-Penelitian Logika, Bab I, pasal 1 s/d 9. bersama suatu pendahuluan.
Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology,  Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derrida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat. Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa dibidang kritik sastra, dan kajian budaya, dimana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man[2].
Pada tahun 1972 terbit tiga buku lagi, yaitu Marges de la philosophie  (pinggiran-pinggiran filsafat),  la   dissemination  (penyebaran) dan  Positions  (posisi-posisi).  L’archeologie du frivole (1967) (arkeologi tentang yang sembrono), Glas (1974), Eperons (1976), Eperons. Les styles de Nitzsche (1978), La verite en peinture (1978) (Kebenaran dalam Seni Lukis).La carte postale de Socrate a Freud et au-dela (1980) (Kartu pos dari Socrates kepada Freud dan di seberang-nya), De l’esprit. Heidegger et la question (1987) (tentang spirit. Heidegger dan pertanyaan), Spectress de Marx Spectre berarti : baik momok maupun spectrum), dan Politiques de l’amitie (1994) (Politik Persahabatan).
Sejak tahun 1974 Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan himpunan dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah : Greph (Group de recherché sur l’enseignement philoshophique) (Kelompok penelitian tentang Pengajaran Filsafat). Kelompok ini didirikan akibat dari situasi lingkungan pada saat itu yang mempersoalkan filsafat pada sekolah menengah. Pada saat ini juga Derrida menulis sebuah artikel yang berjudul Qui a peur de la philoshophie? (1977) (Siapa Takut pada Filsafat?). dan sebuaha karangan-karangan baru yang dikumpulkan dalam sebuah buku Du droit a la phlosophie (1990) (Tentang Hak atas Filsafat).
Dari tulisan-tulisan yang di buat atau ditulis oleh Derrida, maka sudah bisa kita lihat bahwasanya Derrida menulis atas dasar kritikan-kritikan terhadap para filusuf-filusuf, ilmuan-ilmuan, dan sastrawan-satrawan. Akan tetapi komentarnya itu atau kritikannya itu dalam bentuk khusus, dengan cara inilah pemikiran Derrida selangkah demi selangkah berkembang. Dari hasil kritikan serta komentarnya itu Derrida menghasilkan sebuah pemikiran atau menyajikan teks-teks baru yang tidak dikatakan dalam teks-teks yang yang dia kritik. Prosedur yang dilakukan oleh Derrida ini disebut dengan deconstruction, “pembongkaran”.

2.1.2         Pemikiran Filosofis
Sebagaimana yang dilakukan oleh para filusuf sebelum Derrida khususnya Heiddeger dan Levinas yang mempersoalkan dan mengkritik seluruh tradisi filsafat barat, begitupula dengan Derrida yang membicarakan dan mempersoalkan hal tersebut. Derrida juga terpengaruh dengan pemikiran Heidegger sebagaimana pengakuannya “segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup keterbukaan yang diciptakan oleh pemikiran Heidegger”. Dan dikatakan juga bahwasanya pemikiran Derrida merupakan semacam radikalisasi dari filsafat Heiddeger, akan tetapi tidak dalam artian bahwa dia meneruskan pemikiran Heidegger begitu saja. Sebaliknya, ia mengembangkan pendiriaanya sendiri dengan mengktitik dan mempermasalahkan antara lain Heiddeger.
Salah satu pandangan Derrida yaitu tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, bagi Derrida filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan hal sama, karena kedua-duanya berakar dalam rasionalitas yang sama. Yaitu bahwa rasionalitas itu tidak lain daripada pemikiran Barat yang lahir di Yunani dan berlangsung sampai hari ini.
Pemikiran Barat yang pada waktu itu berpandangan bahwa yang ADA itu dimengerti sebagai “kehadiran”, maka menurut Derrida pemikiran tentang ada sebagai “kehadiran” itu disebut juga kedalam “metafisika”. Dan pandangan ini selanjutnya berpengaruh terhadap pandangan tentang tanda. Dalam tradisi metafisis tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak hadir. Derrida juga berpendapat bahwa kehadiran tidak merupakan sesuatu instansi independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita, tetapi sebaliknya ditampilkan dalam tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang kita pakai.
Pandangan ini adalah pandangan yang berbalik dari apa yang disebutnya “Logosentrisme” : pemikiran tentang ada sebagai kehadiran. Dan pandangan ini juga yang menjadi analisis terhadap pandangan tentang tanda yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, perintis besar linguistik modern, yang memperlihatkan bahwa di situ pun masih ada sisa-sisa logosentrisme.
Kemudian Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (bekas), suatu kata yang sebelumnya sudah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat, pada plotinus misalnya dan di zaman kita sekarang pada Heiddeger dan terutama Levinas. Bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tetapi hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bekas mendahului objek. Bekas itu sebelumnya bukan efek, melainkan terutama penyebab, kata Derrida. Sehingga bisa dikatakan bahwa tanda secara definitive (dan tidak untuk sementara saja) mendahului kehadiran; tanda selalu sebelum objek.
Sesuai dengan pemikiran Derrida yang terkenal yaitu dekonstruksi. Pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, tehadap teks-teks tertentu. Konstruksi ini berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarah ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang sering diabaikan. Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang menghianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Selain itu Menurut Derrida jaringan tanda atau rajautan tanda bisa di sebut dengan “teks”, Derrida menggunakan kata teks dalam arti yang jauh lebih luas daripada arti yang biasa, sebab bagi dia segala sesuatu yang ada mempunyai status teks. Segala sesuatu yang ada merupakan teks. Segala sesuatu yang ada ditandai tekstualitas. Tidak ada hors-texte, kata Derrida, tidak ada sesuatu di luar teks. Dan jika fenomenologi dulu asyik berbicara dengan intersubyektifitas, maka Derrida sekarang berbicara tentang intertekstualitas, karena suatu teks tidak pernah terisolasi tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain.
Untuk memahami dekonstruksi Derrida, kita coba malacak kronologi pemikirannya dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas. Menurut paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu sendiri adalah saling berhubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda. Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary oposition). Seperti, oposisi antara penanda/petanda, ujara/tulisan, langue/parole[3]. Opisisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulis/feminim, intelligible/sensible, idealisme/materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya. Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki, yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa dianggap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminim, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.
Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporen Eropa, asyik berusaha membongkar kecendrungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Menurut Derrida, pemikiran-pemikiran seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna. Dalam penyelidikan ini, Saussure sampai mengatakan bahwa “bahasa dan tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda: yang kedua eksis semata-mata hanya untuk representasi dari yang pertama” [4]. Bahasa, tegas Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari penulisan, dan keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran dimungkinkan.
Dalam karyanya, Of Grammatology,  Derrida menerangkan tentang ilmu “Gramatologi” ilmu tentang Gramma, huruf-huruf, inskripsi, tulisan. Gramma adalah “tanda dari tanda” atau tanda yang menunjuk kepada tanda lain. Maka dari itu dapat dikatakan juga bahwa gramatologi adalah ilmu tentang tekstualitas. Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran. Menurut Bambang, pemikiran Derrida menarik kesimpulan radikal dan Nietzsche, Hurrel, dan Heideger. Dengan post strukturalis, ia sampai pada gagasan bahwa akhirnya bahasa dan kata-kata adalah kosong belaka dalam artian mereka sebetulnya tidak menunjukan  pada suatu apapun selain pada makna itu sendiri. Dan makna itu sendiri tidak lain hanyalah permainan pembedaan “difference [5].
Yaitu konsepnya tentang Differance, dimana kata ini tidak akan ditemukan dalam kamus bahasa Prancis, karena kata ini dibuat sendiri oleh Derrida. Para pemikir dan penerus pemikiran Derrida cukup kesulitan dalam memahami kata Differance, sebab kata tersebut tidak “ada”. Mengatakan bahwa Differance “ada” akan berarti menguraikannya dalam suasana “kehadiran”. Karena kata ini dimaksudkan untuk melampaui sesuatu yang metafisika atau melampaui pemikiran yang ditandai ke-hadiran.
Derrida memberi berbagai penjelasan tentang kata Differance ini, setidaknya ia menguraikan kata ini dengan empat arti yaitu, Pertama-tama, Differance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Differance adalah proses penundaan (sekaligus aktif dan pasif), yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, Differance adalah gerak yang mendiferensiasikan. Dalam arti Differance adalah akar bersama bagi semua oposisi antara konsep-konsep seperti misalnya inderawi-rasional, intuisi-representasi, alam-kultur. Ketiga, Differance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan setiap struktur. Perbedaan-perbedaan ini merupakan sebuah hasil Differance. Jadi, arti ketiga ini dekat dengan pemikiran Saussure. Keempat dan terakhir, Differance dapat menunjukkan juga berlangsungnya perbedaan antara ada dan adaan, suatu gerakan yang belum selesai.
Perlu ditambah juga bahwasanya kata Differance tidak boleh dibayangkan sebagai “asal-usul”, sebagai identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan faktual. Dan dapat kita katakana juga dan bisa kita lihat bahwa filsafat Derrida ini secara radikal bersifat berhingga. Dalam pemikiran Derrida tidak ada tempat untuk sesuatu pemikiran yang tidak terhingga.
Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan  sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan[6]. Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksikan, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Dalam kajian keagamaan, dekonstruksi Derrida memberi beberapa pengaruh penting.
a.   Berkat dekonstruksi Derrida, “makna” tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi diterima.
b. Dominasi sebuah dikursus keagamaan atas diskursus keagamaan lain  menandakan adanya sebuah struktur hierarkis penafsiran, yang menempatkan diskursus keagamaan yang dominan itu pada posisi “pusat” dan menempatkan diskursus keagamaan lainya pada posisi “pinggiran”. Stuktur hierarkis ini tidak hanya mengeksklusikan keagamaan tertentu, tetapi juga menundukan dan mensubdinasikan[7]. Jadi diperlukan suatu strategi untuk melakukan pembalikan struktur hierarkis penafsiran itu, guna melakukan delegitimasi atas “pusat” , “utama” dari diskursus yang dominan. Strategi ini dapat dilakukan dengan memakai dekonstruksi (pembongkaran).
c. Dekonstruksi dapat dipahami sebagai “an openness toward the other” keterbukaan kepada yang lain. Pernyataan ini tidak hanya mencirikan karakter yang paling penting dari dekonstruksi sebagai sebuah strategi, tapi bisa digunakan sebagai arahan untuk membangun suatu sikap, etos, dan pandangan dunia posmo yang egaliter dengan menekankan prinsip koeksistensi antar beragam entitas-entitas, baik sosial, agama dan budaya. Jadi dengan demikian, dekonstruksi, seperti juga pendekatan postmodernisme lainya, cocok dengan konsep pluralitas budaya, agama dan identitas, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other) [8]. Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Pendekatan dekonstruksi ini pernah dipakai Derrida sendiri dalam menganalisa peristiwa 11 September 2001, tiga tahun sebelum beliau wafat. Dialog bersama tokoh postmo Hebermas yang kemudian diabadikan dalam bentuk karya publikasi ini berkesimpulan bahwa bagi Derrida terasa latah ketika Amerika memaklumatkan perang terhadap terorisme. Seolah-olah terorisme menjadi konsep yang jelas dan gamblang dan mengandung entitas politis. Derrida menilai, harus ada upaya dekonstruktif terhadap istilah terorisme[9]. Baik Hebermas maupun Derrida berpendapat bahwa terorisme adalah istilah yang sulit dimaknai dan diterangkan. Bagi keduanya terasa latah ketika Barat mengkampanyekan perang terhadap terorisme. Seakan negara-negara Eropa memiliki konsep terorisme yang jelas, gamblang, dan dapat dipertanggung jawabkan. Istilah terorisme masih menjadi fenomena yang kompleks, atas dasar apa misalnya, terorisme dianggap bermuatan politis? Apakah terorisme sama dengan perang? Apakah terorisme tindakan kriminalitas murni? Yang semua itu masih butuh penjelasan dan konsep yang mendasar.
Dalam pemikiran Islam. Muhammad Arkoun dan Hasan Hanafi mencoba mempraktekan metode dekonstruksi (pembongkaran) teks-teks keagamaan Islam baikTafsir, fiqh, maupun kalam. Menurut Arkoun ilmu-ilmu keislaman tidak cukup dengan hanya menyentuh dimensi normatif-metafisik atau dimensi historic-empiris. Pola pendekatan dikotomis ini memang lebih menyempitkan wilayah telaah keagamaan. Selagi Al-Qur’an hanya bermuatan normatif, kalam, dan filsafat Islam kurang dapat memahami hubungan dialektis antara historisitas Al-Qur’an dan normativitasnya, maka akan sulit terjadi shifting paradigm (pergeseran paradigma) dalam the body of knowlaedge ilmu-ilmu keislaman[10]. Dengan begitu, proses dekonstruksi yang menolak segala bentuk kemapanan, kemutlakan, standar baku, dan kaku akan menunjukkan adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya.

2.2     JACQUES LACAN
2.2.1     Riwayat Hidup dan Karyanya
Jacques lacan adalah tokoh yang sangat berpengaruh didalam psikoanalisa dengan teorinya yang menafsirkan ulang karya-karya freud, selain dianggap memberikan terobosan di dalam psikoanalisa lacan juga dianggap mengacaukan teori psikoanalisa konvensional. Jacques lacan adalah seorang terapis perancis yang memiliki latar belakang filsafat dan surealisme. Lacan menganggap psikoanalisa khususnya amerika sudah bergeser dari konsep awal yang dicetuskan freud karena lacan menganggap para terapis telah menjadikan pasien-pasiennya sebagai obyek penelitian dan para terapis telah melakukan interupsi dalam porsi besar-besaran terhadap perkembangan pasiennya karena lacan beranggapan bahwa psikoanalisa adalah ilmu pengobatan yang didalam prakteknya seorang terapis tidak boleh ikut campur dalam perkembangan pasiennya dan hanya membuka jalan kepada wilayah tidak sadar pasiennya dan membiarkan pasiennya yang menemukan jalan keluar permasalahannya sendiri.
Lacan juga menyadari  bahwasanya pemikiran freud yang dipelajarinya selama ini adalah pemikiran yang keliru karena freud yang dipelajariya adalah freud berdasarkan pemahaman Freudian perancis dan freud yang mendominasi amerika. kemudian ia memutuskan untuk membaca ulang karya freud dan berusaha untuk memahami pemikiran freud yang sesungguhnya. Secara garis besar pengaruh yang dominan dalam teori lacan adalah pemikiran freud, filsafat hegel dan filsafat strukturalis dan post strukturalis.
Jacques lacan dengan mengacu pada freud melakukan beberapa terobosan dalam pandangannya mengenai wilayah tak sadar bukanlah sebagai penyebab, melalui teorinya ini lacan menegaskan bahwa wilayah tak sadar bukanlah yang menentukan neurosis. Penjelasannya ini sekaligus meluruskan kesalahpahaman terhadap teori freud yang selama ini dipahami sebagai menyatakan bahwa wilayah tidak sadar adalah penyebab neurosis. Lacan menyatakan “wilayah tak sadar merupaka diskursus dari yang lain” wilayah tidak-sadar adalah yang lain itu sendiri, asing dan tak terpahami, kemudian peranan terapis disini adalah sebagai sarana bagi wilayah tak sadar ini untuk menampilkan dirinya. Didalam wilayah tidak sadar sendiri terdapat hasrat yang menurut freud hasrat merupakan harapan atau keinginan yang bersifat tidak disadari dan menjadi pendorong bagi tindakan seseorang yaitu mencari pemenuhan akan hasratnya. Sedangkan lacan memandang hasrat dengan tambahan pengaruh filsafat hegel yang memahami hasrat sebagai hasrat akan pengakuan atau seseorang yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari sesamanya karena dengan demikianlah dia mendapatkan kepastian akan dirinya. Lacan juga menyebutkan bahwa subyek terletak dalam wilayah tak sadar bahwa hasrat adalah kebenaran sang subyek dan subyek merealisasikan dirinya lewat bahasa.
2.2.2      Pemikiran Filosofis
Jacques Lacan (1901 – 1981) mengambil ide Saussure dan menerapkannya dalam psikoanalisa. Lacan berargumen bahwa alam bawah sadar terstruktur seperti bahasa, yaitu bahwa alam bawah sadar adalah sebuah sistem semiotik yang mempunyai arti secara arbiter. Lacan juga mempostulasikan bahwa setiap manusia selalu melewati tahap berkaca (mirror stage) di mana manusia mengkonstruksi diri  yang koheren dengan melihat diri sendiri di sebuah kaca. Akan tetapi diri dan koherensinya berdasar pada pengenalan diri yang salah (misrecognition) karena bayangan yang ada di cermin nampak lebih menyatu dan terpisah dari diri kita. Seperti dalam teori linguistik Saussure, diri (self) tidak mempunyai ontology, tetapi lebih merupakan sebuah konstruksi, sebuah tanda, yang diciptakan melalui hubungan dan perbedaanDalam pemikiran lacan dengan mengacu pada pemikiran freud tentang fase perkembangan manusia lacan menjabarkan bahwasanya ada tiga fase didalam diri manusia yaitu the real, imajiner, dan simbolik. Didalam fase the real adalah masa seorang subyek berada didalam suatu keadaan yang serba berkecukupan dalam artian segala sesuatu yang ia butuhkan sudah terpenuhi dengan sendirinya, contohnya adalah bayi yang berada didalam rahim sang ibu dimana sang bayi berada dalam kenyamanan dan serba berkepenuhan yang disuplai oleh tubuh ibunya serta keduanya menyatu didalam satu tubuh. Kemudian dilanjutkan kedalam the imajiner atau fase cermin. Yaitu satu kondisi dimana subyek telah menyadari bahwa ia terpisah dari tubuh ibunya dan memiliki satu keutuhan yang berbeda dari ibunya yang digambarkan dengan seorang anak dihadapkan didepan cermin yang kemudian sang anak mengidentifikasi bahwa citra cermin yang dihadapannya adalah “dia” padahal disisi lain citra yang dipantulkan hanyalah sekedar pantulan cermin yang kemudian terjadilah keterplesetan dalam proses pengidentifikasian diri oleh subyek. Selain itu dalam pemikiran lacan dalam fase cermin telah terjadi alienasi didalam diri subyek yaitu  citra yang dipantulkan dan diidentifikasikan oleh subyek tidak lain adalah sebuah pengharapan “the other” terhadap diri subyek itu sendiri. Jadi alienasi didalam pemikiran lacan adalah masuknya pengharapan “the other” kedalam diri seorang anak. Contohnya seorang anak yang bersekolah, apakah mengikuti pendidikan formal merupakan keinginan murni dari anak tersebut? Apakah tidak ada kontribusi keinginan “the other” terhadap si anak yang kemudian ia memutuskan untuk masuk sekolah? The other dalam lacan adalah orang lain yang ada disekeliling subyek. Yaitu keluarga, saudara, tetangga dan lain-lain.
Setelah fase imajiner kemudian subyek masuk ke ranah the simbolik, yaitu fase dimana keberadaan subyek telah diakui oleh struktur bahasa dan masuknya struktur bahasa kedalam diri subyek melalui penamaan dan pernyataan. Namun antara fase imajiner dan simbolik keberadaannya saling bertubrukan dan tidak jelas batasan antara keduanya. pada fase simbolik bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika tercebur ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Penanda, intinya beroperasi secara negatif. Sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain. Artinya, penanda beroperasi dengan hukum perbedaan. Penanda “ibu” tidak semata menunjukkan adanya “ibu” sebagai petanda melainkan secara berbeda menunjuk adanya ayah. Karena ketundukan pada rotasi dan permainan penandaan inilah, mencapai identitas akan kembali menjadi mustahil. Identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini. Konsekuensi logisnya, hasrat tidak dapat menunggangi bahasa, dan bahasalah yang memanipulasi hasrat.
Bentuk lain dari hasrat adalah “keinginan untuk menjadi” sebuah subyek yang utuh, tidak terbelah dan tanpa kekurangan dan penuh dengan pemenuhan. Hasrat ini berarti hasrat kembali pada Yang Real, yang telah menghilang saat dikenakan bahasa. Hasrat untuk kembali pada sesuatu yang tidak mungkin lagi dijelajahi oleh bahasa dan simbol.
Kekurangan (lack) adalah ibu kandung dari hasrat. Secara eksistensial manusia dikendalikan oleh berbagai rasa kehilangan dan kekurangan. Kehidupan manusia seperti merupakan ajang pencarian pemenuhan akan sesuatu yang kurang. Kekurangan yang dimiliki subyek ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat terpenuhi dan diibaratkan seperti sumur yang apabila diisi tidak akan pernah penuh. Dalam bahasa Lacan, tidak mungkin kembali pada yang Real. Hal ini sangatlah wajar dengan mengingat sumber rasa kekurangan pada manusia. Sumber kekurangan adalah kehilangan “kepenuhan” dalam fase the real, sementara didalamnya tidak berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa yang muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang the Real, sehingga manusia dengan bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali[11].

C.    PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini yakni secara garis besarnya pemikiran post-strukturalisme adalah pemikiran yang tidak hanya terpaku kepada tulisan ataupun bahasa yang dituliskan akan tetapi selain tulisan, post-strukturalis juga tidak meninggalkan maksud dari sang penulis yang membuat sebuah tulisan.
Tokoh dalam Post-Strukturalisme adalah Jacques Derrida, tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Sementara pemikiran Derrida yang terkenal yaitu dekonstruksi dimana pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, tehadap teks-teks tertentu. Akan tetapi pada strukturalisme dikenal istilah oposisi biner yaitu sistem perbedaan adanya bahasa. Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki, yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa dianggap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminim, dan sebagainya.
Tokoh yang dibahas selain Jacques Derrida adalah Jacques Lacan. Untuk memahami Lacan perlu merefleksikan diri dengan sungguh-sungguh. Sebenarnya yang dia ajarkan itu sudah diajarkan dalam Al-Quran. Akan tetapi karena konteksnya ilmu pengetahuan dia berusaha melepas semua kepentingan yang ada. Intinya di dalam tubuh manusia itu terdapat 3 hal, yaitu nafsu, nurani dan akal pikiran. sesuatu yang lain yang dikatakan 'other' itu hasil dari pembentukan kepribadian yang diciptakan orang yang disekitar kita yang kemudian membuat kita sedikit asing dan mungkin sangat asing jika kita tidak menyadari sepenuhnya siapa diri kita. Jiwa kita itu sangat bebas, namun terkunci di dalam tubuh dan terikat dalam aturan yang telah kita terima sejak kita hadir di dunia.
Inilah uraian singkat yang penulis bisa sajikan, dan mungkin uraian ini tidak sampai pada tahapan sempurna karena penulis yakin dan sadar bahwasanya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, apalagi ditambah dengan kekurang pahaman penulis tentang objek yang telah di uraikan di atas. Akan tetapi mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi awal celah bagi cahaya yang lebih besar dan bermanfaat bagi kita semua.



[1] Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith  (eds.)International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 203-228.
[2]John Lecht,  ........, h.106-107
[3] NorrisChristopher, Membongkar Teori Dekonstruksi Jaques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, h.70
[4] Lubis, Akhyar Yusuf. Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskomolonialisme, Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006, h.68
[5] Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000. h. 76
[6] Lubis, Akhyar Yusuf. Dekonstruksi Epistemologi Modern........., h. 75
[7]Rudy Harisyah Alam, Perspektif Pasca-postmodernisme, Bandung: NuansaCendikia, 2001, h.102
[8]Hardiman, F.Budi. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2007.
[9]Barrodi, “Memahami peristiwa 11/9 bersama Derrida dan Habermas” diakses dari. http://id.shvoong.com/social-sciences/1693832-memaknai-11-bersama-habermas-dan/
[10]Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2004, h.90

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP